Minggu, 23 Oktober 2011

“Metodologi Penelitian filsafat”

1. METODOLOGI PENELITIAN FlLSAFAT
Metodologi penelitian ialah suatu ilmu tentang kerangka kerja melaksanakan penelitian yang bersistem. Bersisitem berarti penelitian dikerjakan secara kontekstual.[1] Filsafat ialah suatu sistem pemikiran yang terbentuk dari pencarian pengetahuan tentang watak dan makna kemaujudan (existence) (Homby, dkk, 1974). Menurut Koenen & Endepols (1948) filsafat ialah pengetahuan tentang makna.
Jadi, penelitian filsafat dapat diartikan suatu sistem pemikiran yang mengarahkan penelitian menuju ke perolehan makna tentang soal yang dikaji. Memperoleh makna berarti memahami hakikat kemaujudan fakta dan kejadian yang terkandung dalam persoalan tersebut sebagai suatu kausalitas. Sesuatu tidak dapat maujud tanpa sebab (asas kausalitas), dan sebab selalu mendahului akibat (hokum kausalitas), dan sebab selalu mendahului akibat (hokum kausalitas) (Homby, dkk, 1974).
Jadi, metodologi penelitian filsafat adalah suatu ilmu tentang kerangka kerja melaksanakan penelitian filsafat yang bersistem.
1.1. Filsafat itu Pengertian Refleksif
Ilmu pengetahuan merupakan eksplisitasi tentang realitas yang di-hadapi manusia. Kebanyakan cabang ilmu mencari pemahaman untuk tengsung dapat diterapkan dan bertindak dalam hidup sehari-hari.
Tetapi di antaranya filsafat adalah kegiatan refleksif. Filsafat itu memang juga kegiatan akal budi, tetapi lebih berupa perenungah dan suatu tahap lebih lanjut dari kegiatan rasional umum tadi. Yang direfleksikan adalah pada prinsipnya apa saja, tanpa terbatas pada bidang atau tema tertentu. Tujuannya ialah memperoleh kebenaran yang mendasar; menemukan makna, dan inti segala inti. Oleh karena itu filsafat merupakan eksplisitasi tentang hakikat realitas yang ada dalam kehidupan manusia. Itu meliputi hakikat manusia itu sendiri, hakikat semesta, bahkan hakikat Tuhan, baik menurut segi strukturai, maupun menurut segi normatifnya.
1.2. Filsafat itu Ilmu
Dengan jalan refleksi itu filsafat dapat memberikan suatu pandangan hidup. Tetapi hasil filsafat berbeda dari pengertian awam tentang pan­dangan hidup, sebab filsafat menguraikan dan merumuskan hakikat realitas secara sistematis-metodis. Oleh karena itu juga filsafat merupakan ilmu pengetahuan. [2]  Dari satu pihak justru di sinilah letak kekuatan filsafat sebagai suatu ilmu: karena menjadi sistematisasi pandangan hidup secara menyeluruh. Maka terdapat keterlibatan erat antara filsuf dengan ilmu yang digelutinya.
Dari lain pihak dapat disebut sebagai kelemahan filsafat, bahwa sebagai akibat keterlibatan erat tersebut, filsafat akan memper-lihatkan jumlah aliran dan sistem serta variasi metode yang besar. Ini merupakan perbedaan mencolok antara filsafat dan ilmu pengetahuan lain, khususnya eksakta, yang tidak memiliki pengalaman hubungan pribadi seperti filsafat berhubungan dengan yang menekuninya. Hanya ilmu sosial dan human mendekati filsafat dalam hal ini.
Maka sesungguhnya sangat ideallah pendapat yang menyatakan, bahwa ilmu filsafat itu bersifat personal. Dan dengan demikian tujuan pendalaman dalam ilmu filsafat ialah agar mengantar dan membimbing orang yang mempelajarinya, untuk menjalankan filsafat secara pribadi. Tetapi sifat personal ini untuk kondisi tertentu mengandung kelemahan, karena bisa mengaburkan arti 'kebenaran' sebagai tujuan utama segala ilmu pengetahuan, termasuk filsafat itu sendiri.

1.3. Gaya Berfilsafat
Dalam setiap ilmu pengetahuan, jadi juga dalam ilmu filsafat dapat dibedakan beberapa gaya metodologis untuk melakukan dan mengatur pengetahuan ilmiahnya.
a.   Gaya edukatif
Cara edukatif memberikan penjelasan teratur dan sistematis tentang seluruh bidang filsafat, atau tentang salah satu bagian sejauh sudah di-hasilkan: tentang topik-topiknya, pendapat-pendapat atau aliran-aliran berhubungan dengan topik tsb; dalam bentuk kuliah, atau berbentuk buku. Tetapi bahaya gaya metodologis ini ialah, bahwa bahan disajikan terlalu objektiuistis dan statis, sebagai satu kantong pengetahuan yang selesai jadi. Peserta didikan menjadi seperti 'bank' yang menyimpan dengan setia semua yang dimasukkan (Freire 1985, him. 49-70). Lahirlah ahli yang dapat menerangkan ilmu filsafat dengan tepat, namun tanpa keyakinan pribadi dan tanpa kecenderungan mengambil sikap pribadi. Pengetahuan ini tidak berfungsi, apabila orang dihadapkan dengan pu-tusan, pilihan, atau tindakan yang menyangkut nilai. Filsafat sedemikian itu tidak lagi dapat bertindak selaku pandangan hidup.
Sebagai reaksi dapat muncul gaya ekstrim sebaliknya, yang bisa disebut gaya emansipatoris atau konsientisasi. Cara itu tidak mengajar bahan telah jadi, melainkan secara sistematis-metodis mendidik dan mendorong orang untuk menyusun pandangan hidup sendiri, dan me-mecahkan masalahnya sendiri. Amat dihormati pandangan hidup pribadi, atas dasar pemikiran bahwa filsafat sebagai ilmu pun bersifat personal. Tetapi lalu ditekankan sifat subjektivistis. Akan lahir filsuf yang mempunyai keyakinan pribadi yang kokoh, namun yang sangat tertutup dan tidak tahu menahu mengenai pemahaman dan pemecahan aliran-aliran dan tokoh-tokoh lain.
b.   Gaya inventif
Untuk mencegah pelaksanaan gaya edukatif menurut salah satu segi ekstrim, haruslah gaya inventif melengkapl gaya edukatif tersebut. Gaya ini mencari/?ema/?amGn 6an/terhadap modal pemikiran yang telah dikum-pulkan, dan berusaha memberikan pemecahan bagi masalah-masalah yang belum diselesaikan. Cara inventif ini dari satu pihak mengoreksi tendensi objektivistis, dengan menekankan evaluasi terhadap pengetahu­an yang disajikan sebagai data. Tetapi dari lain pihak cara ini juga menghindarkan diri dari kecenderungan subjektivistis, dengan meng-adakan komparasi dengan kekayaan pemikiran yang telah diperoleh. Maka gaya ini sesungguhnya berupaya menggabungkan modal penge­tahuan sepanjang sejarah, dengan pemahaman dan keyakinan personal.
1.4. Penelitian di Bidang Filsafat
Penelitian di bidang filsafat pada dasarnya berpijak pada gaya inven­tif tadi. Agar mampu memberikan evaluasi, seorang filsuf harus mempu-nyai pendapat pribadi; dan agar mampu menyusun sistematika pribadi, ia membutuhkan inspirasi, komunikasi, bahkan konfrontasi dengan filsuf-lilsuf lain. Penelitian ini merupakan syarat mutlak bagi pengembangan Ilmu filsafat.
Penelitian ini bersifat heuristis. Heuristika dalam filsafat adalah aktu-iilisasi pemikirannya terus-menerus. Filsafat harus berupaya selalu lagi kembali menyajikan permasalahan yang bersifat mendasar. Filsafat harus 11 ii iicegah pemikiran melulu rutin, dan mengembalikannya ke jalur reflek-Nlf-pribadi, sehingga urgensi masalah disadari. Filsafat harus menolak pemikiran mekanistis, dan membangun kembali arus pikiran yang di-i Minis & kreatif.

1.5. Dialog dengan Ilmu-Ilmu Lain
Dalam kegiatannya, di samping mengintegrasikan tradisi pemikiran, bagi penelitian filsafat tidak cukup untuk merefleksikan data-data dan struktur faktual dalam pengalaman yang spontan. Ilmu filsafat memerlukan juga dialog dengan semua ilmu bukan filsafat sebagai sumber pengalaman (parsial) yang otentik. Contohnya epistemologi harus memperhatikan logika dan linguistik; kosmologi mempertimbangkan data ilmu eksakta, termasuk ilmu biologi; filsafat manusia memperhitungkan data antropologi budaya, psikologi dan sosiologi; filsafat ketuhanan tidak boleh mengabaikan studi tentang agama dan data-data teologis dari masing-masing agama. Keahlian dalam masing-masing ilmu pengetahuan lain harus diperhatikan secara serius oleh ilmu filsafat, dan merupakan modal penting sekali dalam melak-sanakan model-model penelitiannya.

1.6. Peraturan Penelitian Filsafat yang Khusus
Dapat dirumuskan sejumlah peraturan metodologis umum, yang ber-laku dalam setiap ilmu, misalnya analisis dan sintesis. Tentunya mereka juga berlaku bagi filsafat. Akan tetapi setiap ilmu mengkonkretkan peraturan- peraturan umum itu sesuai dengan objeknya yang khas. Oleh karena itu harus dijawab pertanyaan tentang perbedaan metodologi pe­nelitian filsafat dengan ilmu-ilmu lain. Antara lain: apakah penelitian fil­safat masuk dalam metodologi kuantitatif atau kualitatif?
Pertanyaan perbedaan itu lebih mendesak lagi, jikalau dilihat kenya-taan di lingkungan kita sendiri. Di banyak pusat penelitian di Indonesia dikenal hanya satu metode penelitian, yaitu yang berlaku bagi ilmu-ilmu empiris. Metode itu mempergunakan langkah-langkah: kerangka teoretis, hipotesis, metode penelitian dengan alat penelitian, pelaksanaan peneliti­an sendiri dengan mengumpulkan data, interpretasi data-data, kesimpul-j an. Menurut pengalaman umum di banyak lembaga dan pusat penelitian ilmiah, metodologi penelitian filsafat menurut kekhususannya belum dikenal dan belum diterima sebagai metode ilmiah yang sah.
Akan tetapi filsafat itu merupakan ilmu tersendiri, dengan objek for­mal khusus. Filsafat itu mencari suatu pemahaman kenyataan yang ber-j beda dari ilmu-ilmu lain. Maka perlu agar diberikan uraian teratur mengenai metodologi penelitian yang sesuai dengan objek formalnya.

2.  MANFAAT PENELITIAN FILSAFAT
2.1. Filsafat Berdialog dengan Ilmu-ilmu
Ilmu pengetahuan berkembang atas dasar dilakukannya penelitian, sedangkan pemilihan masalah bagi suatu penelitian tergantung dari suatu kepentingan tertentu. Maka sebelum melakukan penelitian perlu diberi kejelasan nilai.
Sejak abad ke-17 ilmu pengetahuan empiris berkembang dengan pesat. Namun perkembangan itu juga membawa dampak negatif, yaitu mundurnya refleksi filosofis ilmu. Metode ilmu eksakta seringkali diterap-kan secara tidak relevan pada bidang penyelidikan yang sebenarnya me-merlukan metode khas. Akhirnya dibutuhkan alternatif dalam metodo­logi, untuk mengimbangi pendekatan timpang empiristis-positivistis yang cenderung luput menangkap dimensi penghayatan manusia, dan pula di-perlukan upaya untuk menggunakan metode yang tepat terhadap bidang-bidang keilmuan yang tidak boleh dipaksakan pendekatannya. Perlulah kebenaran ditangkap secara holistis, dan perkembangan ilmu pun berjalan secara bertanggung jawab.
Dalam hiduppraktis sebagai penerapan kegiatan ilmiah, filsuf dibutuh­kan. Ahli-ahli filsafat diperlukan untuk melengkapi spesialisasi disiplin ilmu pengetahuan yang terlalu tajam dan terisolasi, sehingga mereka menjadi tertutup bagi tingkat kebenaran disiplin lainnya. Para filsuf di­butuhkan pada lembaga-lembaga formal pengambilan keputusan yang menyentuh hidup orang banyak, pada lembaga - lembaga pendidikan, ke-agamaan, hukum, sosial, dan budaya.
Mereka membantu untuk menjamin pelengkapan pandangan menyeluruh, dan untukmenjelaskan filsafat yang lersembunyi dalam pengambilan keputusan kebijaksanaan dan pelak-sanaannya. Untuk itu mereka juga harus diikutsertakan dalam studi-studi dan penelitian-penelitian intardisipliner.


2.2.  Filsafat Sendiri menjadi Operasional
Secara khusus sarjana filsafat, setelah menyelesaikan studi formal­nya, harus mampu menfungsionalkan keahliannya dalam rangka hidup inasyarakat. Memang mungkin saja, bahwa ia membatasi diri pada ke-Olatan bergaya edukatif, yaitu hanya mengajar dengan mengikuti buku angan rutin.
Akan tetapi tanpa mengadakan penelitian formal, ke-ahllan filsafat sendiri sudah akan ketinggalan. Apalagi dengan gaya edu­katif semata-mata tidak akan tercapai apa yang diharapkan dari ahli filsafat, ialah sumbangannya untuk memecahkan masalah baru di ma-lyarakat secara holistis. 'Pasar tenaga kerja' terbuka lebar bagi para filsuf, tetapi dia harus wlalu berusaha, supaya ilmu filsafat bersifat eksistensial dan relevan.
Maka pemahaman filosofis yang sistematis perlu dibuat operasional, dan diruncingkan pada situasi konkret; dengan kata lain para filsuf mem-butuhkan metodologi untuk mengadakan penelitian. Tidak cukup hanya menguasai metodologi untuk menyusun karangan ilmiah. Perlu sudah dimiliki ketepatan dalam memilih dari antara bermacam-macam model penelitian filsafat.
3  KEDUDUKAN STUDI METODOLOGI PENELITIAN FILSAFAT
Sebagai studi khusus sendiri metodologi penelitian filsafat memiliki tempatnya dalam keseluruhan bidang studi filsafat. Metodologi ilmiah pada umumnya berhubungan dengan pengetahuan manusia. Maka sejauh dipelajari secara filosofis, metodologi pada umumnya merupakan bagian epistemologi (atau filsafat pengetahuan). Akan tetapi dalam hal penelitian filsafat ini metodologi diterapkan pada suatu ilmu khusus (yaitu filsafat), maka menjadi bagian dalam filsafat ilmu (yaitu epistemologi khusus).
Berhubungan dengan kedudukan dalam studi filsafat formal tersebut, adaprasyara/untukmempelajari Metodologi Penelitian Filsafat. Prasyarat itu ialah pengenalan dan penguasaan Metode-Metode Filsafat utama yang dipergunakan sepanjang sejarah. Sebagai konsekuensi berikut itu berarti. bahwa diperlukan sebagai prasyarat lagi: Filsafat Pengetahuan atau Epis­temologi. Dan oleh karena itu akhirnya juga Logika lebih dulu harus di-kuasai secara matang.


[1] http://soil.faperta.ugm.ac.id/tj/1991/1991%20meto.pdf
[2] Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair. 1990. Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta : Kanisius. Hlm. 17.

Penggunaan Teknologi dalam Bimbingan Konseling



1.        Awal mula masuknya Teknologi Informasi dan komunikasi ke dalam proses pelayanan konseling.
Pada penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Guru Bimbingan Konseling / Konselor di sekolah memberikan pelayanan berkaitan Pengembangan Diri, sesuai minat dan bakat serta mempertimbangkan tahapan tugas perkembangan peserta didik dalam lingkup usia Sekolah Menengah Atas (SMA), mengingat adanya keberagaman individu (individual deferencies). [1]
Guru Bimbingan Konseling / Konselor bersama Wali Kelas dan Guru Mata Pelajaran menjadi pendamping dalam setiap proses pembelajaran. Hal itu dimaksudkan untuk membantu peserta didik agar mampu menuntaskan seluruh mata pelajaran seoptimal mungkin sesuai dengan potensi kemampuan akademik, bakat dan minatnya, sehingga hambatan dan kemungkinan kegagalan sudah dapat diprediksi, diketahui dan dibimbing sejak dini. Selain itu, untuk membimbing peserta didik dalam menentukan pilihannya secara mandiri dan mampu mengambil keputusan.
Melihat kebutuhan diatas maka Bimbingan dan Konseling dalam melakukan proses pelayanannya menggunakan berbagai pelayanan dengan berbagai pertimbangan melihat dari sudut kebutuhan konseli. Mengikuti perkembangan zaman maka dalam melakukan pelayanan atau proses konseling Bimbingan dan Konseling pun menggunakan sistem teknologi informasi dalam melakukan proses konseling, agar mempermudah komunikasi. Tujuan Bimbingan dan Konseling menggunakan Teknologi Informasi kedalam melakukan pelayanannya, yaitu:Easy to use ( mudah digunakan )
a.         Easy to manage ( mudah di atur )
b.         Simple ( tidak rumit )
c.         Dynamic ( Dinamis )

2.        Macam – macam sarana konseling yang sudah menggunakan Teknologi Informasi sebagai media layanan
Perkembangan teknologi informasi pada era globalisasi saat ini sangatlah pesat. Penggunaan teknologi yang mampu membantu serta mempermudah segala pekerjaan manusia sudah dipergunakan di berbagai bidang. Begitupun Profesi Bimbingan dan Konseling yang melakukan inovasi-inovasi terhadap pelayanannya agar mempermudah akses para konseli yang membutuhkan bantuan dimanapun dan kapanpun. Melihat kebutuhan akan teknologi dalam proses konseling maka profesi ini membuat suatu rancangan terbaru untuk mengembangkan pelayanan yang mengikuti perkembangan zaman. Perubahan terhadap pelayanan tersebut berupa beberapa media konseling, contohnya :
1.      Surat Magnetik (disket ke disket)
Meskipun pelayanan konseling dengan menggunakan fasilitas ini sudah dianggap sebagai fasilitas komunikasi “ tradisional”, tetapi fasilitas ini adalah awal mula terciptanya gagasan penggunaan teknologi informasi dalam Bimbingan dan Konseling.
Dalam penggunaan fasilitas ini, konseli dan konselor saling berkomunikasi dengan berkirim surat atau berkomunikasi melalui buku catatan yang bertujuan untuk membantu anak agar lebih dapat mengekspresikan diri melalui tulisan (bagian dari konseling biblio), meskipun fasilitas ini pada zamannya tidak begitu populer, namun sering dilakukan oleh beberapa guru pembimbing atau konselor.
Dalam era penggunaan komputer, surat atau biblio dalam bentuk kertas dapat diganti dengan disket.  Keuntungan dari fasilitas ini antara lain mempermudah evaluasi terhadap kemajuan dan proses konseling, kemudahan dalam penyisipan materi atau informasi yang dibutuhkan, isi disket tidak dapat dibuka oleh sembarang orang, dan konselor dapat langsung menanggapi kalimat per kalimat yang ditulis oleh konseli. Selain dapat membantu kegiatan konseling, fasilitas ini juga memiliki kelemahan, yaitu adanya kemungkinan ketidak lancaran pengiriman surat, sistem kontrak antara konseli dengan konselor, jaminan kerahasiaan konseli, keterjaminan surat-surat atau disket yang diterima konselor, banyaknya sesi yang harus  dilakukan, dan sebagainya. Jenis ini akan lebih efisien penggunaannya oleh  konseli  dan konselor yang bertempat tinggal di area atau wilayah yang sama dan sering bertemu, misalnya guru BK dan siswanya di Sekolah.
2.      Konseling menggunakan bantuan Komputer
Proses Konseling menggunakan bantuan komputer atau Computer Assisted Counseling (CAC) merupakan konseling mandiri, juga disebut konseling komputer pasif atau biasa juga disebut dengan standalone.  Konseli mencari pemecahan masalah atau kebutuhannya melalui program interaktif konseling (Software) dalam bentuk CD yang dirancang khusus agar konseli tersebut dapat mengeksplorasi permasalahannya, mencari informasi yang dibutuhkan dari sejumlah informasi yang disediakan, dan menentukan alternatif pemecahan masalah yang ditawarkan.
 Dalam penggunaan fasilitas ini (CAC), konseli dimungkinkan untuk tidak perlu bertemu dengan konselor.  CAC ini juga dapat dilakukan secara blended, memperdalam materi-materi yang terdapat dalam program konseling, dan memilih tindakan selanjutnya.
3.      Telepon
Kemudahan pengaksesan dalam pemberian layanan Bimbingan dan Konseling mengikuti tatanan kehidupan masyarakat global diharapkan mampu untuk memenuhi kebutuhan para konseli yang menuntut pemberian layanan bimbingan dan konseling yang cepat, luas, dan mudah diakses oleh konseli. Konseling melalui telepon  biasanya disebut konseling telepon. Di bawah ini akan dikemukakan etika dalam penggunaan teknologi telepon dalam layanan konseling.
Etika pelayanan konseling menggunakan telepon:
1.    Gunakan bahasa yang sopan sesuai dengan kondisi klien
2.    Gunakan suara yang lembut, volume yang rendah dan intonasi yang bersahabat
3.    Dengarkan pembicaraan sampai selesai, jangan menyela kata-kata klien apalagi pada tahap awal pembicaraan.
4.    Mengembangkan perasaan senang dan berfikir positif tentang siapapun yang menelepon
5.    Catat hal-hal yang perlu memperoleh perhatian
6.    Memfokuskan pembicaraan guna menefektifkan penggunaan media komunikasi
7.    Selalu mengakhiri pembicaraan dengan kesiapan untuk melakukan hubungan komunikasi selanjutnya
8.    Video-phone ; Lebih dikenal dengan sebutan Video-phone counseling (VPC) merupakan bentuk lain dari konseling telepon. Namun dalam penggunaan perangkat teknologi komunikasi tambahan yang memungkinkan konseli dan konselor saling mengenal dan “bertatap muka” melalui layar monitor (display). Konseling melalui video-phone lebih memungkinkan terjalinnya interaksi yang lebih baik antara konselor dan klien, dan dapat lebih mendekati karakteristik konseling tatap muka.
4.      Radio dan Televisi
Konseling melalui radio atau televisi,  masih merupakan bentuk lain dari konseling telepon. Pada konseling radio, percakapan antara konselor dan konseli dipancarkan.  Pelayanan ini umumnya bersifat informatif atau advis, jarang hubungan klien dan konselor mencapai taraf yang mendalam dan intensif. 
Konseling melalui radio dan televisi memungkinkan permasalahan konseli diketahui oleh umum, oleh karena itu kerahasiaan identitas konseli harus benar-benar menjadi perhatian.
5.      Internet
Pelayanan konseling melalui fasilitas internet sudah dikenal dengan nama e-counseling ( email counseling ). Berikut ini adalah contoh proses konseling via internet :
1.    email therapy
2.    online therapy
3.    cyber counseling dan
4.    e-counseling.
Email counseling merupakan proses terapeutik yang didalamnya terdapat kegiatan menulis selain ada kegiatan pertemuan secara langsung dengan konselor.  Karena, esensi e-counseling terletak pada menulis. Respon atau bantuan yang diberikan konselor bergantung pada informasi yang diberikan.  Konseli pun tidak perlu mengirimkan seluruh cerita mengenai masalah yang dihadapi, cukup dengan memilih informasi yang dirasakan pada satu situasi yang merupakan masalah.
E-mail merupakan cara paling baru dibandingkan dengan cara-cara yang lain untuk berkomunikasi secara cepat dan efektif melalui internet. Hal ini  tidak bermaksud untuk menggantikan konseling tatap muka (face to face), tetapi dapat  menjadi salah satu cara dalam membantu konseli untuk memecahkan masalahnya meskipun dalam keadaan jauh dalam hal tanpa bertemu langsung dengan konselor.
Email counseling merupakan satu cara untuk berkomunikasi antara konseli dengan konselor yang didalamnya dibahas mengenai masalah-masalah yang dihadapi koseli, misalnya masalah-masalah yang berkaitan dengan perkembangan kepribadian dan kehidupan konseli melalui surat atau tulisan pada internet.  Selain e-mail juga bisa dalam bentuk chatting dimana konselor secara langsung berkomunikasi dengan klien pada waktu yang sama melalui internet.
3.        Kelebihan Bimbingan Konseling Melalaui Teknologi Informasi
Kelebihan atau keuntungan pelayanan bimbingan konseling melalui teknologi informasi, diantaranya :
1.         Pelayanan melalui teknologi informasi  mudah di akses.
2.         Tidak membutuhkan biaya transportasi
3.         Mengurangi kesulitan jadwal yang berkaitan dengan program kelompok
4.         Pelayanan melalui teknologi informasi bersifat semi anonim
5.         Klien lebih mau terbuka berbicara tentang masalahnya karena ia tidak berkomunikasi secara face to face, sehingga ia dapat lebih siap dan terbuka
6.         Pelayanan melalui teknologi informasi dan komunikasi berbasis individu
7.         Konselor dapat menyesuaikan kesiapan klien dalam mengambil tindakan yang diperlukan, memotivasi diri, dan meningkatkan keterampilan kliennya
8.         Pelayanan melalui teknologi informasi dan komunikasi formatnya harus memfasilitasi konseling yang proaktif
9.         Setelah klien membuka komunikasi via teknologi informasi awal, maka konselor berinisiatif untuk memulai suatu kontak berikutnya sehingga ia dapat menciptakan suatu taraf terapis berupa dukungan sosial dan klien bertanggung jawab selama proses penyembuhannya
10.  Pelayanan melalui teknologi informasi formatnya menggunakan ijin protokol yang terstruktur. Hal ini memberikan  konselor suatu kerangka kerja tertulis yang dapat memastikan pemenuhan topik penting ketika bekerja khusus kepada masing-masing individu pada setiap sesi, sehingga menghasilkan suatu intervesi yang ringkas, terpusat, dan sesuai dengan pribadi klien.
4.        Kelemahan Bimbingan Konseling Melalaui Teknologi Informasi
Selain kelebihan adapula kelemahan dalam pelayanan bimbingan konseling melalui teknologi informasi, diantaranya:
1.         Konselor tidak dapat memastikan bahwa kliennya benar-benar seruis atau tidak
2.         Diperlukan perangkat khusus agar pelayanan bimbingan konseling melalui teknologi informasi dapat terlaksana dan perangkat tersebut tidak murah, sehingga tidak samua orang dapat memanfaatkannya
3.         Informasi yang diterima dan diberitakan sangat terbatas, komunikasi satu arah, klasifikasi dan eksplorasi tidak biasa segera dilakukan, sehingga ada kemungkinan terjadi kesalahpahaman
4.         Kegiatan konseling melalui teknologi informasi dapat menimbulkan jarak baik secara fisik maupun psikis diantara konselor dan  klien.
5.         Belum terdapat data-data, fakta atau informasi yang objektif dari klien, sehingga pemecahan masalah dengan teknik pendekatan ini pada akhirnya akan kabur.
6.         Permasalahan yang dihadapi oleh klien beraneka ragam dalam emosi sehingga kadang-kadang konselor mengabaikan segi-segi yang penting dalam proses konseling.
7.         Dianggap oleh klien sebagai perampasan tanggung jawab, maka teknik pendekatan ini kurang baik untuk di pergunakan.

HAKIKAT DAN PENGERTIAN ISLAM


1.      Pengertian Islam
Kata Islam menurut pandangan umum yang berlaku, biasanya mempunyai konotasi dengan dan diartikan sebagai “agama Allah”. Agama, artinya jalan.[1] Agama Allah berarti jalan Allah, yaitu jalan menuju kepada-Nya dan bersumber daripada-Nya. Allah adalah Tuhan seru sekalian alam, Tuhan yang menciptakan, menguasai, mengatur alam semesta ini.
Islam adalah agama Allah; yang berarti Islam adalah jalan menuju kepada Allah dan yang bersumber daripada-Nya.
Secara etimologis, kata Islam memang memiliki banyak pengertian, antara lain:
a.         Kata Islam yang berasal dari kata kerja aslama, yuslimu, dengan pengertian “menyerahkan diri, menyelamatkan diri, taat, patuh dan tunduk”.
b.         Dari segi kata dasar salima, mengandung pengertian antara lain “selamat, sejahtera, sentosa, bersih dan bebas dari cecat/cela”.
c.         Jika dilihat dari kata dasar salam, maka akan berarti “damai, aman, dan tenteram”.[2]
Jadi penegrtian Islam dapat disimpulkan sebagai berikut: “menempuh jalan keselamatan, dengan jalan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan, dan melaksanakan dengan penuh kepatuhan dan ketaatan akan segala ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan yang ditetapkan oleh-Nya, untuk mencapai kesejahteraan dan kesentausaan hidup dengan penuh keamanan dan kedamaian”.

2.      Kepercayaan
Kepercayaan dasar Islam dapat ditemukan pada dua kalimah shahādatāin ("dua kalimat persaksian"), yaitu "asyhadu an-laa ilaaha illallaah, wa asyhadu anna muhammadan rasuulullaah" - yang berarti "Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad saw adalah utusan Allah". Adapun bila seseorang meyakini dan kemudian mengucapkan dua kalimat persaksian ini, berarti ia sudah dapat dianggap sebagai seorang Muslim atau mualaf (orang yang baru masuk Islam dari kepercayaan lamanya).
Kaum Muslim percaya bahwa Allah mewahyukan al-Qur'an kepada Muhammad sebagai Khataman Nabiyyin (Penutup Para Nabi) dan menganggap bahwa al-Qur'an dan Sunnah (setiap perkataan dan perbuatan Muhammad) sebagai sumber fundamental Islam.
 Mereka tidak menganggap Muhammad sebagai pengasas agama baru, melainkan sebagai pembaharu dari keimanan monoteistik dari Ibrahim, Musa, Isa, dan nabi lainnya (untuk lebih lanjutnya, silakan baca artikel mengenai Para nabi dan rasul dalam Islam). Tradisi Islam menegaskan bahwa agama Yahudi dan Kristen telah membelokkan wahyu yang Tuhan berikan kepada nabi-nabi ini dengan mengubah teks atau memperkenalkan intepretasi palsu, ataupun kedua-duanya.
Umat Islam juga meyakini al-Qur'an sebagai kitab suci dan pedoman hidup mereka yang disampaikan oleh Allah kepada Muhammad. melalui perantara Malaikat Jibril yang sempurna dan tidak ada keraguan di dalamnya (Al-Baqarah [2]:2). Allah juga telah berjanji akan menjaga keotentikan al-Qur'an hingga akhir zaman dalam suatu ayat.
Adapun sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur'an, umat Islam juga diwajibkan untuk mengimani kitab suci dan firman-Nya yang diturunkan sebelum al-Qur'an (Zabur, Taurat, Injil dan suhuf para nabi-nabi yang lain) melalui nabi dan rasul terdahulu adalah benar adanya. Umat Islam juga percaya bahwa selain al-Qur'an, seluruh firman Allah terdahulu telah mengalami perubahan oleh manusia. Mengacu pada kalimat di atas, maka umat Islam meyakini bahwa al-Qur'an adalah satu-satunya kitab Allah yang benar-benar asli dan sebagai penyempurna kitab-kitab sebelumnya.
Umat Islam juga meyakini bahwa agama yang dianut oleh seluruh nabi dan rasul utusan Allah sejak masa Adam adalah agama tauhid, dengan demikian tentu saja Ibrahim juga menganut ketauhidan secara hanif (murni imannya) maka menjadikannya seorang muslim. Pandangan ini meletakkan Islam bersama agama Yahudi dan Kristen dalam rumpun agama yang mempercayai Nabi Ibrahim as. Di dalam al-Qur'an, penganut Yahudi dan Kristen sering disebut sebagai Ahli Kitab atau Ahlul Kitab.
Hampir semua Muslim tergolong dalam salah satu dari dua mazhab terbesar, Sunni (85%) dan Syiah (15%). Perpecahan terjadi setelah abad ke-7 yang mengikut pada ketidaksetujuan atas kepemimpinan politik dan keagamaan dari komunitas Islam ketika itu. Islam adalah agama pradominan sepanjang Timur Tengah, juga di sebagian besar Afrika dan Asia. Komunitas besar juga ditemui di Cina, Semenanjung Balkan di Eropa Timur dan Rusia. Terdapat juga sebagian besar komunitas imigran Muslim di bagian lain dunia, seperti Eropa Barat. Sekitar 20% Muslim tinggal di negara-negara Arab, 30% di subbenua India dan 15.6% di Indonesia, negara Muslim terbesar berdasar populasi.
3.      Islam Sebagai Gejala Alami yang Universal
Kekuatan besar, semua hukum yang meresap, yang memerintah dan yang mengatur seluruh dan bagian-bagian serta yang menyusun  alam semesta ini, mulai dari noda debu yang terkecil sampai kepada galaksi raksasa yang hebat di langit yang tinggi, adalah hukum Tuhan, pencipta dan pengatur alam semesta ini.
Karena seluruh makhluk dan seluruh alam semesta ini tunduk dan patuh kepada hukum-hukum Tuhan, maka secara harfiyah seluruh alam semesta ini beserta segala isi yang ada di dalamnya adalah muslim, mengikuti dan melaksanakan Islam, karena Islam adalah tidak lain kecuali berarti kepatuhan dan penyerahan diri kepada Allh, Tuhan semesta alam.
Jadi bumi, matahari, bulan, bintang-bintang dan semua benda-benda langit lainnya semuanya adalah muslim. Udara, air, panas, batu, pohon-pohonan dan binatang serta segala sesuatu yang ada dan menjadi isi alam semesta ini, adalah muslim, karena mereka patuh kepada Tuhan semesta alam dan mengikuti hukum-hukum-Nya.[3]
Islam itu pada hakikatnya adalah jalan hidup yang alami, jalan hidup yang sesuai dengan menurut kenyataan, jalan hidup yang menurut hukum-hukum dan proses alamiah, dan jalan hidup menurut aturan dan hukum-hukum yang ditetapkan oleh Tuhan.

4.      Islam Sebagai Agama Universal dan Eternal
Sebagai agama yang terakhir, Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW (sebagai utusan terakhir) berfungsi sebagai rahmatan lil’alamin yaitu rahmat dan nikmat bagi seluruh alam, utamanya bagi kehidupan manusia. Sebagai risalah yang terakhir, islam memiliki nilai universal dan eternal, sesuai dengan kebutuhan manusia. Islam memiliki bentuk ajaran yang lebih sempurna dibanding dengan ajaran sebelumnya.
Untuk memenuhi semua kebutuhan kehidupan manusia, Islam memiliki tiga inti ajaran yang merupakan inti dasar dalam mengatur kehidupan manusia. Secara umum dasar-dasar ajaran Islam itu meliputi aqidah, syari’ah dan akhlaq. Dasar-dasar tersebut menunjukkan sifat universalitas dan eternalitas Islam.

1)   Aqidah
Tiap-tiap pribadi pasti memiliki kepercayaan, meskipun bentuk dan pengungkapannya berbeda-beda. Pada dasarnya manusia memang membutuhkan kepercayaan. Kepercayaan akan membentuk sikap dan pandangan hidup seseorang.
Tentang kepercayaan ini pada umumnya orang memberikan gambaran sebagai suatu tempat bersandar atau tempat pengembalian segala masalah yang di lluar jangkauan batas kemampuan akal dan pikiran manusia. Dengan kata lain pa yang menjadi pusat kepercayaan itu dipandang memiliki sesuatu yang lebih tinggi, baik kepercayaan yang masih berkisar pada dunia yang kecil (microcosmos) atau pada alam yang melingkupi kita (macrocosmos) ataupun yang diluar keduanya.
Dalam proses manusia mencari kepercayaan akan dijumpai adanya bermacam-macam konsep dari yang masih sederhana (dinamisme, animisme) sampai kepada yang sudah sempurna (monotheisme). Dan setipp agama pasti memiliki konsep dasar kepercayaan yang oleh para ahli theology disebut sebagai pengertian-pengertian dasar keagamaan (Basic Theological Consepts).[4]
2)   Syari’ah
Pengertian syari’at dalam istilah yang sering dipakai dalam kalangan para ahli hukum islam ialah hukum-hukum yang diciptakan oleh Allah SWT untuk segala hamba-Nya agar mereka itu mengamalkannya untuk kebahagian dunia akhirat, baik hukum-hukum itu bertalian dengan perbuatan,akidah dan akhlak.
Berdasarkan pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa:
a.    Syari’at itu kumpulan ordonasi yang diwajibkan Tuhan, berupa peraturan-peraturan, perintah-perintah, dan larangan-Nya.
b.    Kumpulan hukum-hukum yang tergantung kepada perbuatan-perbuatan, akidah dan akhlak.
c.    Hukum itu adalah ciptaan Tuhan untuk hamba-hamba-Nya.
d.   Hukum-hukum itu diterima, dibawa dan disampaikan oleh seorang Nabi untuk umat manusia.
e.    Tujuan hukum adalah agar umat manusia selamat dan bahagia duniawi dan ukhrowi.
f.     Kumpulan hukum yang berkenaan dengan cara pengerjaan amal disebut dengan ilmu Fiqih.[5]
Sebagai dan perundang-undangan Tuhan maka Syari’at Islam bersifat Universal dalam arti dapat diterapkan pada semua bangsa, disemua tempat dan waktu. Oleh karena itu ciri-ciri daripada syari’ah ialah:
a.    Syari’ah memberikan aturan-aturan atau prinsip-prinsip umum, dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi manusia untuk mengembangkannya.
b.    Sedang pada masalah-masalah yang tidak berkaitan dengan perkembangan manusia, syari’ah memberikan peraturan-peraturan yang terperinci biasanya dalam masalah-masalah yang bersifat ta’abbudy (berupa ibadah) misalnya tentng wudhu dan tayamum, tentang muhrim, pembagian harta warisan, dan zakat, masing-masing secara detail yang telah dijelaskan dalam ayat Al-Qur’an.
c.    Syari’ah bersifat tidak memberatkan dalam arti bahwa tuntunan syari’ah disesuaikan dengan kadar kmampuan manusia. Atau dengan kata lain hukum Tuhan tidak akan memaksa manusia sampai melampaui kadar kemampuannya.
d.   Dalam syari’ah Islam lebih banyak terkandung di dalam hal-hal yang diperbolehkan (mubah) dengan sedikit sekali kewajiban yang berisi “perintah” dan “larangan” sehingga memberikan keluasaan ruang gerak kehiduoan manusia dan tidak dalam serba keterkaitan larangan-larangan yang ketat.
e.    Penetapan hukkum syari’ah secara berangsur-angsur tidak sekaligus.
Prof. Dr Mahmud Syaltout dalam bukunya Al Islam Aqidah wa al-syari’ah, pengertian syari’ah dalah peraturan-peraturan yang diciptakan Allah atau yan g diciptakan pokok-pokoknya supaya manusia berpegang kepada-Nya di dalam hubungan dengan Tuhannya, hubungan dengan saudara sesama muslim, hubungan dengn alam seluruhnya, dan hubungan dengan kehidupan.
3)   Akhlaq
Akhlak secara etimilogis merupakan bentuk jamak (plural) dari kata “khuluqun” diartikan sebagai perangai atau budi pekerrti, gambaran batin atau tabiat karakter. Kata akhlak serumpun dengan kata “khalqun” yang berarti kejadian dan bertalian dengan wujud lahir atau jasmani sedangkan akhlak nertalian dengan factor rohani, sifat atau sikap bathin. Factor lahir dan batin adalah dua unsure yang tidak dapat dipisahkan dari manusia, sebagaimana tidak dapat dipisahkannya jasmani dan rohani.
Untuk itulah Islam lewat ajaran-ajarannya yang universal dan eternal mengatur keduanya dalam upaya pemenuhan kebutuhan jasmaniah dan rohaniah. Akhlak merupakan pokok esensi ajaran Islam pula-disamping aqidah dan syari’ah- karena dengan akhlak akan terbina mental dan jiwa seseorang untuk memiliki hakikat kemanusiaan yang tinggi. Dengan akhlak dapat dilihat corak dan hakikat manusia yang sebenrnya. Sehigga sebenarnya inti yang hakiki misi Muhammad SAW adalah pada pembinaan akhlak mannusia.
Akhlak atau etika mennurut ajaran Islam meliputi hubungan dengan Allah (Khaliq) dan hubungan dengan sesama makhluk (baik manusia maupun nonmanusia) yaitu kehidupan individu, keluarga rumahtangga, masyarakat, bangsa, dengan makhluk lainnya seperti hewan, tumbuhan, alam sekitar dan sebagainya.
Selanjutnya akhlak dalam agama Islm adalah suatu ilmu yang dipelajari di dalamnya tingkah laku manusia, atau sikap kehidupan manusia dalam pergaulan hidup.
Praktek pelaksanaan akhlak adalah berpedoman kepada nash Al-Qur’an dan Al-Hadist, perbuatan yang dianggap benar adalah perbuatan-perbuatan yang berpijak pada kebenaran yang telh digariskan oleh nash agama yang bersumber kepada revelasi atau wahyu.


[1] Sidi Gazalba, Anzis Agama Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1975, hlm. 33.
[2]E. Saifuddin Anshari, Kuliah Al Islam, Perp. Salman ITB, Bandung, 1980, hlm, 52.
[3] Abu A’la Maududi, Towards Understanding Islam, Islamic Fublication Ltd, Lahore, Dacca, 1967, hlm, 2-3.
[4] Beberapa konsep ketuhanan dapat dibaca buku “Filsafat Agama”oleh  Dr. Harun Nasution, hal 23-46.
[5] Dr. H. Muhibbuddin Waly MA, Sejarah Syari’ah Islam di Indonesia, Majalah Ilya Ulumuddin, No 12 Juni 1971.