1. Sejarah Bani Umayyah
Masa pemerintahan Bani Umayyah merupakan masa keemasan ummat Islam. Wilayah kekuasaannya membentang dari India di timur, sampai ke Spanyol di barat, dan seluruh daratan Afrika Utara. Ilmu pengetahuan juga berkembang pesat pada masa itu. Banyak ilmuwan muslim yang muncul pada rentang waktu tersebut. Sejarah kebesaran ummat Islam itu harus bisa dijadikan pelajaran bagi ummat Islam saat ini. Ummat Islam harus bisa menjaga kebesaran agama Islam agar tetap ada di muka bumi.
Nama Bani Umayyah dalam bahasa arab berarti anak turun Umayyah, yaitu Umayyah bin Abdul Syam, salah satu pemimpin dalam kabilah suku Quraisy. Abdul Syam adalah saudara dari Hasyim, sama-sama keturunan Abdul Manaf, yang menurunkan Bani Hasyim. Dari Bani Hasyim inilah lahir Nabi kita yaitu Nabi Muhammad saw. Pada masa sebelum Islam, Bani Umayyah selalu bersaing dengan Bani Hasyim, pada waktu itu, Bani Umayyah lebih berperan dalam masyarakat Mekah. Hal itu disebabkan mereka mengusai pemerintahan dan perdagangan yang banyak bergantung kepada pengunjung Ka’bah. Di pahak lain, Bani Hasyim adalah orang-orang yang berekonomi sederhana.
Keadaan mulai berubahpada waktu Nabi Muhammad saw. salah seorang dari Bani Hasyim, mendapatkan wahyu dari Allah swt. Untuk mengembangkan agama Islam. Dengan berkembangnya agama Islam, Bani Umayyah merasa bahwa kekuasaan dan perokonomiannya terancam. Oleh sebab itu, mereka menjadi penentang utama dalam perjuangan Nabi Muhammad saw. Abu Sufyan bin Harb, salah satu anggota Bani Umayyah, beberapa kali menjadi pemimpin Quraisy Mekah dalam peperangan melawan pihak Nabi Muhammad saw. Setelah Islam menjadi kuat dan mampu merebut Mekah, Abu Sufyan bin Harb dan pihaknya menyerah. Peristiwa itu dinamakan Fathu Makkah dan terjadi pada tahun 8 hijrah. Akhirnya, Abu Sufyan bin Harb dan anaknya Mu'awiyyah bin Abu Sufyan, sebagaimana sisa-sisa penduduk Mekkah lainnya memeluk islam. Peristiwa ini menjadi awal berperannya Bani Umayyah dalam sejarah Islam. Selanjutnya adalah pemaparan tentang khalifah-khalifah pada masa Bani Umayyah 1.
Muawiyah bin Abi Sufyan (602 – 680) bergelar Muawiyah I adalah khalifah pertama dari Bani Umayyah. Muawiyah diakui oleh kalangan Sunni sebagai salah seorang Sahabat Nabi, walaupun keislamannya baru dilakukan setelah Mekkah ditaklukkan. Kalangan Syi’ah sampai saat ini tidak mengakui Muawiyah sebagai khalifah dan Sahabat Nabi, karena dianggap telah menyimpang setelah meninggalnya Rasulullah SAW. Ia diakui sebagai khalifah sejak Hasan bin Ali, yang selama beberapa bulan menggantikan ayahnya sebagai khalifah, berbai’at padanya. Dia menjabat sebagai khalifah mulai tahun 661 (umur 58-59 tahun) sampai dengan 680. Terjadinya Perang Shiffin makin memperkokoh posisi Muawiyah dan melemahkan kekhalifahan Ali bin Abu Thalib, walaupun secara militer ia dapat dikalahkan. Hal ini adalah karena keunggulan saat berdiplomasi antara Amru bin Ash (kubu Muawiyah) dengan Abu Musa Al Asy’ari (kubu Ali) yang terjadi di akhir peperangan tersebut. Seperti halnya Amru bin Ash, Muawiyah adalah seorang administrator dan negarawan ulung.
Ibnu Thabathiba[1] berkata tentang Muawiyah: “Muawiyah bagus siasatnya, pandai mengatur urusan duniawi, cerdas, bijaksana, fasih, baligh, dimana ia perlu berlapang dada dan dapat pula bersifat keras, tetapi lebih sering ia berlapang dada. Lagi pula ia dermawan, rela mengorbankan harta, amat suka memegang pimpinan. Kedermawanannya melebihi kedermawanan orang-orang bangsawan dalam kalangan rakyatnya.”
Dimasa pemerintahannya, dialah yang mula-mula yang memerintahkan supaya prajurit-prajurit mengangkat senjata-tembok bila mereka berada di hadapannya. Dan dia pulalah khalifah yang mula-mula menyuruh agar dibuatkan “anjung” dalam masjid tempatnya sembahyang untuk menjaga keamanan dirinya dari musuh, hal ini disebabkan karena Khalifah Umar Bin Khatthab dan Khalifah Ali Bin Abi Yhalib pernah terbunuh ketika sedang sembahyang[2].
Selain itu Muawiyah juga mengadakan dinas-pos pada tempat-tempat tertentu di sepanjang jalan disediakan kuda lengkap dengan peralatannya. Selain itu, Muawiyah juga yang mula-mula mendirikan kantor cap (Percetakan mata uang) [3].
Pada masa pemerintahan Muawiyah adalah yang paling cemerlang diantara masa-masa Khalifah Islamiyah dseluruhnya, dimana keamanan negri begitu baiknya dan segala anasir-anasir yang bersikap memusuhi terhadap Muawiyah telah dapat dibasmi, berkat moral Muawiyah yang tinggi, ataupun karena hadiah-hadiah dan pedangnya yang tajam. Masa pemerintahannya adalah masa kemakmuran dan kekayaan yang berlimpah-limpah. Begitu pula dengan hubungan luar negri, kaum muslimin telah mencapai kemenangan yang gemilang. Selain itu, pemerintahan Muawiyah bukan saja suatu masa yang panjang, bahkan juga luas, penuh dengan faktor-faktor yang memungkinkan terbentuknya suatu Negara besar dan suatu bangsa yang sukses.
3. Yazid bin Muawiyah
Memasuki masa kekuasaan Muawiyah yang menjadi awal kekuasaan Bani Umayah ini, sistem pemerintahan Islam yang dulunya bersifat demokrasi berubah menjadi monarki heredetis (kerajaan turun temurun). Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. (Binu Taimiyah, 1951: 42)
Perintah ini tentu saja memberikan sinyal awal bahwa kesetiaan terhadap Yazid merupakan bentuk pengokohan terhadap sistem pemerintahan yang turun temurun telah coba dibangun oleh Muawiyah. Tidak ada lagi suksesi kepemimpinan berdasarkan asas musyawarah (syuro) dalam menentukan seorang pemimpin baru. Muawiyah telah merubah model kekuasaan dengan model kerajaan yang membenarkan regenerasi kekuasaan dengan cara memberikan kepada putera mahkota. Orang-orang yang berada di luar garis keturunan Muawiyah, secara substansial tidak memiliki ruang dan kesempatan yang sama untuk memimpin pemerintah umat Islam, karena sistem dinasti hanya membenarkan satu kebenaran bahwa suksesi hanya bisa diberikan kepada keturunan dalam dinasti tersebut. (Suhaidi, deemuhammad)
Yazid bin Muawiyah bergelar Yazid I (± 645 - 683) ialah khalifah kedua Bani Umayyah dan pengganti ayahandanya Muawiyah. Insiden khusus dari masa pemerintahannya terjadi dalam Pertempuran Karbala di mana cucu Nabi Muhammad, Husain bin Ali beserta pengikutnya terbunuh. Tidak hanya Husain tokoh terkemuka yang menentang kenaikan Yazid ke kursi kekhalifahan; ia juga ditentang Abdullah bin Zubair yang menyatakan menjadi khalifah sesungguhnya. Saat orang-orang Hejaz mulai memberikan kesetiaan pada Abdullah, Yazid mengirim pasukan untuk mengamankan daerah itu, dan Makkah diserbu. Selama penyerbuan, Ka’bah rusak, namun pengepungan berakhir dengan kematian mendadak Yazid pada 683.
Walau disajikan dalam banyak sumber sebagai penguasa yang risau, dengan penuh semangat Yazid mencoba melanjutkan kebijakan ayahandanya dan menggaji banyak orang yang membantunya. Ia memperkuat struktur administrasi khilafah dan memperbaiki pertahanan militer Suriah, basis kekuatan Bani Umayyah. Sistem keuangan diperbaiki. Ia mengurangi pajak beberapa kelompok Kristen dan menghapuskan konsesi pajak yang ditanggung orang-orang Samara sebagai hadiah untuk pertolongan yang telah disumbangkan di hari-hari awal penaklukan Arab. Ia juga memberi perhatian berarti pada pertanian dan memperbaiki sistem irigasi di oasis Damsyik. Masa pemerintahan Yazid berlangsung kira-kira 3 tahun, ia mati dalam usia muda karena sakit. Yazid meninggalkan beban yang berat yang kemudian ia digantikan putranya Mu’awiyah II bin Yazid (64-65H/683-684M), akan tetapi Muawiyah II tidak berdaya untuk memikulnya kemudian digantikan oleh Marwan Bin Hakam.
4. Marwan bin Hakam
Marwan bin Hakam bergelar Marwan I (623 - 685) ialah Khalifah Bani Umayyah yang mengambil alih tampuk kekuasaan setelah Muawiyah II menyerahkan jabatannya pada 684. Naiknya Marwan menunjukkan pada perubahan silsilah Bani Umayyah dari keturunan Abu Sufyan ke Hakam, mereka ialah cucu Umayyah (darinya nama Bani Umayyah diambil). Hakam ialah saudara sepupu Utsman bin Affan. Selama masa pemerintahan Utsman, Marwan mengambil keuntungan dari hubungannya pada khalifah dan diangkat sebagai Gubernur Madinah. Bagaimanapun, ia diberhentikan dari posisi ini oleh Ali, hanya diangkat kembali oleh Muawiyah I. Akhirnya Marwan dipindahkan dari kota ini saat Abdullah bin Zubair memberontak terhadap Yazid I. Dari sini, Marwan pergi ke Damsaskus, di mana ia menjadi khalifah setelah Muawiyah II turun tahta.
Masa pemerintahan singkat Marwan diwarnai perang saudara di antara keluarga Umayyah, seperti perang terhadap Ibnu Zubair yang melanjutkan pemerintahan atas Hejaz, Irak, Mesir dan sebagian Suriah. Marwan sanggup memenangkan perang saudara Bani Umayyah, yang berakibat naiknya keturunan Marwan sebagai jalur penguasa baru dari Khalifah Umayyah. Ia juga sanggup merebut kembali Mesir dan Suriah dari Ibnu Zubair, namun tak sanggup sepenuhnya mengalahkannya. Marwan bin al-Hakam digantikan sebagai khalifah oleh anaknya Abdul Malik bin Marwan.
5. Abdul Malik bin Marwan
Abdul Malik bin Marwan adalah khalifah kelima dari Bani Umayyah, menggantikan khalifah Marwan bin Hakam pada 692 Masehi. Selama masa pemerintahannya ia membebaskan banyak kota seperti kota-kota Romawi (696 705 M), Afrika Utara (698-703 M), dan Turkistan (705 M). Beban yang ditinggalkan oleh Yazid, dapat diperbaiki keadaanya oleh Abdul Malik Bin Marwan. Suasana kerajaan bisa dipulihkan setelah kekhalifahan dipegang oleh Abdul Malik bin Marwan, tepatnya ketika gerakan yang dipimpin oleh Abdullah bin Zubeir berhasil ditumpas. Pada masa inilah kemajuan dinasti Umayyah dimulai, diantaranya :
a) Menetapkan Bahasa Arab sebagai bahasa resmi.
b) Mendirikan Balai kesehatan untuk rakyat.
c) Mendirikan Masjid di Damaskus.
Tahun 705 M ia digantikan oleh anaknya, Al-Walid bin Abdul-Malik. Adapun pemaparan mengenai kepemimpinan Al-Walid bin Abdul-Malik, akan dibahas pada makalah Islam pada masa Bani Umayyah 2 yang akan dipresentasikan oleh kelompok selanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar