Minggu, 23 Oktober 2011

“Metodologi Penelitian filsafat”

1. METODOLOGI PENELITIAN FlLSAFAT
Metodologi penelitian ialah suatu ilmu tentang kerangka kerja melaksanakan penelitian yang bersistem. Bersisitem berarti penelitian dikerjakan secara kontekstual.[1] Filsafat ialah suatu sistem pemikiran yang terbentuk dari pencarian pengetahuan tentang watak dan makna kemaujudan (existence) (Homby, dkk, 1974). Menurut Koenen & Endepols (1948) filsafat ialah pengetahuan tentang makna.
Jadi, penelitian filsafat dapat diartikan suatu sistem pemikiran yang mengarahkan penelitian menuju ke perolehan makna tentang soal yang dikaji. Memperoleh makna berarti memahami hakikat kemaujudan fakta dan kejadian yang terkandung dalam persoalan tersebut sebagai suatu kausalitas. Sesuatu tidak dapat maujud tanpa sebab (asas kausalitas), dan sebab selalu mendahului akibat (hokum kausalitas), dan sebab selalu mendahului akibat (hokum kausalitas) (Homby, dkk, 1974).
Jadi, metodologi penelitian filsafat adalah suatu ilmu tentang kerangka kerja melaksanakan penelitian filsafat yang bersistem.
1.1. Filsafat itu Pengertian Refleksif
Ilmu pengetahuan merupakan eksplisitasi tentang realitas yang di-hadapi manusia. Kebanyakan cabang ilmu mencari pemahaman untuk tengsung dapat diterapkan dan bertindak dalam hidup sehari-hari.
Tetapi di antaranya filsafat adalah kegiatan refleksif. Filsafat itu memang juga kegiatan akal budi, tetapi lebih berupa perenungah dan suatu tahap lebih lanjut dari kegiatan rasional umum tadi. Yang direfleksikan adalah pada prinsipnya apa saja, tanpa terbatas pada bidang atau tema tertentu. Tujuannya ialah memperoleh kebenaran yang mendasar; menemukan makna, dan inti segala inti. Oleh karena itu filsafat merupakan eksplisitasi tentang hakikat realitas yang ada dalam kehidupan manusia. Itu meliputi hakikat manusia itu sendiri, hakikat semesta, bahkan hakikat Tuhan, baik menurut segi strukturai, maupun menurut segi normatifnya.
1.2. Filsafat itu Ilmu
Dengan jalan refleksi itu filsafat dapat memberikan suatu pandangan hidup. Tetapi hasil filsafat berbeda dari pengertian awam tentang pan­dangan hidup, sebab filsafat menguraikan dan merumuskan hakikat realitas secara sistematis-metodis. Oleh karena itu juga filsafat merupakan ilmu pengetahuan. [2]  Dari satu pihak justru di sinilah letak kekuatan filsafat sebagai suatu ilmu: karena menjadi sistematisasi pandangan hidup secara menyeluruh. Maka terdapat keterlibatan erat antara filsuf dengan ilmu yang digelutinya.
Dari lain pihak dapat disebut sebagai kelemahan filsafat, bahwa sebagai akibat keterlibatan erat tersebut, filsafat akan memper-lihatkan jumlah aliran dan sistem serta variasi metode yang besar. Ini merupakan perbedaan mencolok antara filsafat dan ilmu pengetahuan lain, khususnya eksakta, yang tidak memiliki pengalaman hubungan pribadi seperti filsafat berhubungan dengan yang menekuninya. Hanya ilmu sosial dan human mendekati filsafat dalam hal ini.
Maka sesungguhnya sangat ideallah pendapat yang menyatakan, bahwa ilmu filsafat itu bersifat personal. Dan dengan demikian tujuan pendalaman dalam ilmu filsafat ialah agar mengantar dan membimbing orang yang mempelajarinya, untuk menjalankan filsafat secara pribadi. Tetapi sifat personal ini untuk kondisi tertentu mengandung kelemahan, karena bisa mengaburkan arti 'kebenaran' sebagai tujuan utama segala ilmu pengetahuan, termasuk filsafat itu sendiri.

1.3. Gaya Berfilsafat
Dalam setiap ilmu pengetahuan, jadi juga dalam ilmu filsafat dapat dibedakan beberapa gaya metodologis untuk melakukan dan mengatur pengetahuan ilmiahnya.
a.   Gaya edukatif
Cara edukatif memberikan penjelasan teratur dan sistematis tentang seluruh bidang filsafat, atau tentang salah satu bagian sejauh sudah di-hasilkan: tentang topik-topiknya, pendapat-pendapat atau aliran-aliran berhubungan dengan topik tsb; dalam bentuk kuliah, atau berbentuk buku. Tetapi bahaya gaya metodologis ini ialah, bahwa bahan disajikan terlalu objektiuistis dan statis, sebagai satu kantong pengetahuan yang selesai jadi. Peserta didikan menjadi seperti 'bank' yang menyimpan dengan setia semua yang dimasukkan (Freire 1985, him. 49-70). Lahirlah ahli yang dapat menerangkan ilmu filsafat dengan tepat, namun tanpa keyakinan pribadi dan tanpa kecenderungan mengambil sikap pribadi. Pengetahuan ini tidak berfungsi, apabila orang dihadapkan dengan pu-tusan, pilihan, atau tindakan yang menyangkut nilai. Filsafat sedemikian itu tidak lagi dapat bertindak selaku pandangan hidup.
Sebagai reaksi dapat muncul gaya ekstrim sebaliknya, yang bisa disebut gaya emansipatoris atau konsientisasi. Cara itu tidak mengajar bahan telah jadi, melainkan secara sistematis-metodis mendidik dan mendorong orang untuk menyusun pandangan hidup sendiri, dan me-mecahkan masalahnya sendiri. Amat dihormati pandangan hidup pribadi, atas dasar pemikiran bahwa filsafat sebagai ilmu pun bersifat personal. Tetapi lalu ditekankan sifat subjektivistis. Akan lahir filsuf yang mempunyai keyakinan pribadi yang kokoh, namun yang sangat tertutup dan tidak tahu menahu mengenai pemahaman dan pemecahan aliran-aliran dan tokoh-tokoh lain.
b.   Gaya inventif
Untuk mencegah pelaksanaan gaya edukatif menurut salah satu segi ekstrim, haruslah gaya inventif melengkapl gaya edukatif tersebut. Gaya ini mencari/?ema/?amGn 6an/terhadap modal pemikiran yang telah dikum-pulkan, dan berusaha memberikan pemecahan bagi masalah-masalah yang belum diselesaikan. Cara inventif ini dari satu pihak mengoreksi tendensi objektivistis, dengan menekankan evaluasi terhadap pengetahu­an yang disajikan sebagai data. Tetapi dari lain pihak cara ini juga menghindarkan diri dari kecenderungan subjektivistis, dengan meng-adakan komparasi dengan kekayaan pemikiran yang telah diperoleh. Maka gaya ini sesungguhnya berupaya menggabungkan modal penge­tahuan sepanjang sejarah, dengan pemahaman dan keyakinan personal.
1.4. Penelitian di Bidang Filsafat
Penelitian di bidang filsafat pada dasarnya berpijak pada gaya inven­tif tadi. Agar mampu memberikan evaluasi, seorang filsuf harus mempu-nyai pendapat pribadi; dan agar mampu menyusun sistematika pribadi, ia membutuhkan inspirasi, komunikasi, bahkan konfrontasi dengan filsuf-lilsuf lain. Penelitian ini merupakan syarat mutlak bagi pengembangan Ilmu filsafat.
Penelitian ini bersifat heuristis. Heuristika dalam filsafat adalah aktu-iilisasi pemikirannya terus-menerus. Filsafat harus berupaya selalu lagi kembali menyajikan permasalahan yang bersifat mendasar. Filsafat harus 11 ii iicegah pemikiran melulu rutin, dan mengembalikannya ke jalur reflek-Nlf-pribadi, sehingga urgensi masalah disadari. Filsafat harus menolak pemikiran mekanistis, dan membangun kembali arus pikiran yang di-i Minis & kreatif.

1.5. Dialog dengan Ilmu-Ilmu Lain
Dalam kegiatannya, di samping mengintegrasikan tradisi pemikiran, bagi penelitian filsafat tidak cukup untuk merefleksikan data-data dan struktur faktual dalam pengalaman yang spontan. Ilmu filsafat memerlukan juga dialog dengan semua ilmu bukan filsafat sebagai sumber pengalaman (parsial) yang otentik. Contohnya epistemologi harus memperhatikan logika dan linguistik; kosmologi mempertimbangkan data ilmu eksakta, termasuk ilmu biologi; filsafat manusia memperhitungkan data antropologi budaya, psikologi dan sosiologi; filsafat ketuhanan tidak boleh mengabaikan studi tentang agama dan data-data teologis dari masing-masing agama. Keahlian dalam masing-masing ilmu pengetahuan lain harus diperhatikan secara serius oleh ilmu filsafat, dan merupakan modal penting sekali dalam melak-sanakan model-model penelitiannya.

1.6. Peraturan Penelitian Filsafat yang Khusus
Dapat dirumuskan sejumlah peraturan metodologis umum, yang ber-laku dalam setiap ilmu, misalnya analisis dan sintesis. Tentunya mereka juga berlaku bagi filsafat. Akan tetapi setiap ilmu mengkonkretkan peraturan- peraturan umum itu sesuai dengan objeknya yang khas. Oleh karena itu harus dijawab pertanyaan tentang perbedaan metodologi pe­nelitian filsafat dengan ilmu-ilmu lain. Antara lain: apakah penelitian fil­safat masuk dalam metodologi kuantitatif atau kualitatif?
Pertanyaan perbedaan itu lebih mendesak lagi, jikalau dilihat kenya-taan di lingkungan kita sendiri. Di banyak pusat penelitian di Indonesia dikenal hanya satu metode penelitian, yaitu yang berlaku bagi ilmu-ilmu empiris. Metode itu mempergunakan langkah-langkah: kerangka teoretis, hipotesis, metode penelitian dengan alat penelitian, pelaksanaan peneliti­an sendiri dengan mengumpulkan data, interpretasi data-data, kesimpul-j an. Menurut pengalaman umum di banyak lembaga dan pusat penelitian ilmiah, metodologi penelitian filsafat menurut kekhususannya belum dikenal dan belum diterima sebagai metode ilmiah yang sah.
Akan tetapi filsafat itu merupakan ilmu tersendiri, dengan objek for­mal khusus. Filsafat itu mencari suatu pemahaman kenyataan yang ber-j beda dari ilmu-ilmu lain. Maka perlu agar diberikan uraian teratur mengenai metodologi penelitian yang sesuai dengan objek formalnya.

2.  MANFAAT PENELITIAN FILSAFAT
2.1. Filsafat Berdialog dengan Ilmu-ilmu
Ilmu pengetahuan berkembang atas dasar dilakukannya penelitian, sedangkan pemilihan masalah bagi suatu penelitian tergantung dari suatu kepentingan tertentu. Maka sebelum melakukan penelitian perlu diberi kejelasan nilai.
Sejak abad ke-17 ilmu pengetahuan empiris berkembang dengan pesat. Namun perkembangan itu juga membawa dampak negatif, yaitu mundurnya refleksi filosofis ilmu. Metode ilmu eksakta seringkali diterap-kan secara tidak relevan pada bidang penyelidikan yang sebenarnya me-merlukan metode khas. Akhirnya dibutuhkan alternatif dalam metodo­logi, untuk mengimbangi pendekatan timpang empiristis-positivistis yang cenderung luput menangkap dimensi penghayatan manusia, dan pula di-perlukan upaya untuk menggunakan metode yang tepat terhadap bidang-bidang keilmuan yang tidak boleh dipaksakan pendekatannya. Perlulah kebenaran ditangkap secara holistis, dan perkembangan ilmu pun berjalan secara bertanggung jawab.
Dalam hiduppraktis sebagai penerapan kegiatan ilmiah, filsuf dibutuh­kan. Ahli-ahli filsafat diperlukan untuk melengkapi spesialisasi disiplin ilmu pengetahuan yang terlalu tajam dan terisolasi, sehingga mereka menjadi tertutup bagi tingkat kebenaran disiplin lainnya. Para filsuf di­butuhkan pada lembaga-lembaga formal pengambilan keputusan yang menyentuh hidup orang banyak, pada lembaga - lembaga pendidikan, ke-agamaan, hukum, sosial, dan budaya.
Mereka membantu untuk menjamin pelengkapan pandangan menyeluruh, dan untukmenjelaskan filsafat yang lersembunyi dalam pengambilan keputusan kebijaksanaan dan pelak-sanaannya. Untuk itu mereka juga harus diikutsertakan dalam studi-studi dan penelitian-penelitian intardisipliner.


2.2.  Filsafat Sendiri menjadi Operasional
Secara khusus sarjana filsafat, setelah menyelesaikan studi formal­nya, harus mampu menfungsionalkan keahliannya dalam rangka hidup inasyarakat. Memang mungkin saja, bahwa ia membatasi diri pada ke-Olatan bergaya edukatif, yaitu hanya mengajar dengan mengikuti buku angan rutin.
Akan tetapi tanpa mengadakan penelitian formal, ke-ahllan filsafat sendiri sudah akan ketinggalan. Apalagi dengan gaya edu­katif semata-mata tidak akan tercapai apa yang diharapkan dari ahli filsafat, ialah sumbangannya untuk memecahkan masalah baru di ma-lyarakat secara holistis. 'Pasar tenaga kerja' terbuka lebar bagi para filsuf, tetapi dia harus wlalu berusaha, supaya ilmu filsafat bersifat eksistensial dan relevan.
Maka pemahaman filosofis yang sistematis perlu dibuat operasional, dan diruncingkan pada situasi konkret; dengan kata lain para filsuf mem-butuhkan metodologi untuk mengadakan penelitian. Tidak cukup hanya menguasai metodologi untuk menyusun karangan ilmiah. Perlu sudah dimiliki ketepatan dalam memilih dari antara bermacam-macam model penelitian filsafat.
3  KEDUDUKAN STUDI METODOLOGI PENELITIAN FILSAFAT
Sebagai studi khusus sendiri metodologi penelitian filsafat memiliki tempatnya dalam keseluruhan bidang studi filsafat. Metodologi ilmiah pada umumnya berhubungan dengan pengetahuan manusia. Maka sejauh dipelajari secara filosofis, metodologi pada umumnya merupakan bagian epistemologi (atau filsafat pengetahuan). Akan tetapi dalam hal penelitian filsafat ini metodologi diterapkan pada suatu ilmu khusus (yaitu filsafat), maka menjadi bagian dalam filsafat ilmu (yaitu epistemologi khusus).
Berhubungan dengan kedudukan dalam studi filsafat formal tersebut, adaprasyara/untukmempelajari Metodologi Penelitian Filsafat. Prasyarat itu ialah pengenalan dan penguasaan Metode-Metode Filsafat utama yang dipergunakan sepanjang sejarah. Sebagai konsekuensi berikut itu berarti. bahwa diperlukan sebagai prasyarat lagi: Filsafat Pengetahuan atau Epis­temologi. Dan oleh karena itu akhirnya juga Logika lebih dulu harus di-kuasai secara matang.


[1] http://soil.faperta.ugm.ac.id/tj/1991/1991%20meto.pdf
[2] Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair. 1990. Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta : Kanisius. Hlm. 17.

1 komentar: